SLEMAN - Para korban erupsi besar Gunung Merapi 2010 merasakan manfaat riil Program Psychosocial Intervention for Recovery Merapi (PIRM). Diutarakan Yatin, kepala Desa Ngargomulyo, Magelang. Ia mengungkapkan kebahagiaannya tatkala menemukan kembali kepercayaan dirinya. Ia tak memungkiri bahwa beberapa saat setelah bencana menimpa, warga membutuhkan bantuan logistik. Namun setelah tanggap darurat berakhir, yang dibutuhkan masyarakat adalah pendampingan-pendampingan secara psikologis.
"Beberapa bulan setelah bencana, kami masih bingung mau berbuat apa. Perlahan-lahan ketegangan kami berkurang setelah memperoleh pendampingan psikologis. Kami juga bahagia melihat anak-anak kami kembali ceria," paparnya.
Hal sama diungkapkan perwakilan warga dari Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten, saat menyampaikan kata perpisahan dengan para relawan. "Kami sudah bisa berdiri kembali. Kami tidak lemah. Kami siap menghadapi masa depan," tandasnya.
Keceriaan juga tampak saat acara festival berlangsung. Sekitar 10 stan pameran didirikan untuk menunjukakn hasil pembekalan life skill. Ada warga yang memamerkan berbagai macam kerajinan tangan terbuat dari bahan daur ulang. Ada pula yang menjual madu dikemas dalam botol, dan ada yang menjual sayur-mayur yang dikemas menggunakan plastik higienis.
Tak jauh dari tempat pameran berlangsung, berlangsung pertunjukan 10 kesenian rakyat untuk menghibur ratusan warga yang memadati lokasi festival. Antara lain pertunjukkan kesenian jatilan yang khas dengan kuda kepangnya. Para pemainnya memperagakan tarian dengan gerakan-gerakan enerjik seolah menjadi simbol semangat hidup.
Pertunjukan itu beroleh perhatian besar dari para penonton, Begitu pula atraksi dari barisan ibu-ibu yang meneriakan yel yel "Ole-Ole", menirukan selebrasi kemenangan pertandingan sepak bola, dan kesenian hadrah religi yang melantunkan ungkapan rasa syukur.
"Kegiatan penutupan ini merupakan simbol kebangkitan masyarakat lereng Merapi. Setelah bencana erupsi satu tahun silam, akhirnya sesudah 10 bulan kami melakukan program PIMR, hari ini kami mengakhiri program tersebut lantaran masyarakat sudah bisa mandiri dan bangkit dari keterpurukan dan keputusasaan," papar Vanda.
Sedangkan Direktur Program Plan Indonesia, Nono Sumarsono, memaparkan, setelah program tersebut berakhir, lahir kader-kader psikososial baru yang berasal dari masyarakat setempat. Hal itu akan memudahkan jika sewaktu-waktu bencana terjadi lagi.
Terlebih, menurutnya, ada 25 persen kaum muda berisiko tinggi terhadap tekanan psikologis yang berdampak pada perasaan tidak berdaya, frustasi maupun depresi. Selain itu, 43 persen anak akan mengalami kesulitan dalam berbagai tingkatan, terutama dilihat dari gejala emosional dan masalah perilaku.
"Kami berharap kader-kader baru ini bisa melanjutkan program-program kami. Tentunya akan lebih memudahkan jika dibawakan oleh warga setempat," ujarnya.
"Beberapa bulan setelah bencana, kami masih bingung mau berbuat apa. Perlahan-lahan ketegangan kami berkurang setelah memperoleh pendampingan psikologis. Kami juga bahagia melihat anak-anak kami kembali ceria," paparnya.
Hal sama diungkapkan perwakilan warga dari Desa Tegalmulyo, Kemalang, Klaten, saat menyampaikan kata perpisahan dengan para relawan. "Kami sudah bisa berdiri kembali. Kami tidak lemah. Kami siap menghadapi masa depan," tandasnya.
Keceriaan juga tampak saat acara festival berlangsung. Sekitar 10 stan pameran didirikan untuk menunjukakn hasil pembekalan life skill. Ada warga yang memamerkan berbagai macam kerajinan tangan terbuat dari bahan daur ulang. Ada pula yang menjual madu dikemas dalam botol, dan ada yang menjual sayur-mayur yang dikemas menggunakan plastik higienis.
Tak jauh dari tempat pameran berlangsung, berlangsung pertunjukan 10 kesenian rakyat untuk menghibur ratusan warga yang memadati lokasi festival. Antara lain pertunjukkan kesenian jatilan yang khas dengan kuda kepangnya. Para pemainnya memperagakan tarian dengan gerakan-gerakan enerjik seolah menjadi simbol semangat hidup.
Pertunjukan itu beroleh perhatian besar dari para penonton, Begitu pula atraksi dari barisan ibu-ibu yang meneriakan yel yel "Ole-Ole", menirukan selebrasi kemenangan pertandingan sepak bola, dan kesenian hadrah religi yang melantunkan ungkapan rasa syukur.
"Kegiatan penutupan ini merupakan simbol kebangkitan masyarakat lereng Merapi. Setelah bencana erupsi satu tahun silam, akhirnya sesudah 10 bulan kami melakukan program PIMR, hari ini kami mengakhiri program tersebut lantaran masyarakat sudah bisa mandiri dan bangkit dari keterpurukan dan keputusasaan," papar Vanda.
Sedangkan Direktur Program Plan Indonesia, Nono Sumarsono, memaparkan, setelah program tersebut berakhir, lahir kader-kader psikososial baru yang berasal dari masyarakat setempat. Hal itu akan memudahkan jika sewaktu-waktu bencana terjadi lagi.
Terlebih, menurutnya, ada 25 persen kaum muda berisiko tinggi terhadap tekanan psikologis yang berdampak pada perasaan tidak berdaya, frustasi maupun depresi. Selain itu, 43 persen anak akan mengalami kesulitan dalam berbagai tingkatan, terutama dilihat dari gejala emosional dan masalah perilaku.
"Kami berharap kader-kader baru ini bisa melanjutkan program-program kami. Tentunya akan lebih memudahkan jika dibawakan oleh warga setempat," ujarnya.
0 comments:
Post a Comment