Friday, February 11, 2011

Hidup Tanpa TV, Mungkinkah?

type='html'> SHUTTERSTOCK Anak usia batita sama sekali belum bisa memilih, menilai, apalagi mencerna program-program yang ditayangkan. Artikel Terkait: Bahaya, Terlalu Lama Duduk Menonton TV GramediaShop : To Die For GramediaShop : Bidadari Tak Bersayap Jumat, 28/1/2011 | 08:29 WIB

KOMPAS.com - Banyak orang tua cemas terhadap pengaruh buruk TV pada anak. Sampai-sampai, ada yang tak menyediakan pesawat TV di rumah. Padahal, TV juga bisa menjadi sarana pendidikan, lho. Jadi, mungkin enggak, sih, anak hidup tanpa TV?

'Kenapa tidak?" ujar M. Elisabeth Arman, SPsi, pengajar pada Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta. Malah menurut Lisa, sapaan akrabnya, kondisi tanpa TV amat ideal buat anak usia batita karena TV belum memberi manfaat pada mereka.

Anak usia batita, terangnya, masih sangat tergantung pada sosok ibunya. "Ia sama sekali belum bisa memilih, menilai, apalagi mencerna program-program yang ditayangkan. Ia cuma pemirsa pasif, hanya menerima dan menyerap informasi sebanyak mungkin." Dengan kata lain, TV bukan merupakan kebutuhan anak usia batita. Jadi, kalaupun ditiadakan, tak akan menimbulkan masalah apapun.

Sebaliknya, justru bisa timbul masalah kalau ada TV. Ia bisa "keranjingan" nonton, hingga saat makan pun maunya di depan TV. Tak lain karena si ibu ataupun pengasuhnya hobi nonton. "Orang dewasa inilah yang pasti memaksa anak ikut nonton agar ia tak perlu repot mengikuti dan mengawasi batita yang bergerak ke sana ke mari." Atau, agar keasyikannya nonton enggak terganggu; paling tidak, agar sinetron kesukaannya tak terlewatkan.

Tak heran bila akhirnya -setelah lepas usia batita- anak jadi punya kebiasaan nonton TV, bahkan bisa sampai berjam-jam tak beranjak dari depan TV. Kalau sudah begitu, TV lah yang disalahkan; bukannya si ibu sadar anaknya jadi punya kebiasaan nonton TV gara-gara dirinya juga.

Kebutuhan sosialisasi
Jadi, kuncinya terletak pada diri kita sendiri, apakah TV akan berpengaruh buruk atau tidak pada anak. Jikapun kita ingin meniadakan "si kotak ajaib" itu, patut dipertanyakan sampai usia berapa anak mau "dibebashamakan" dari pengaruh TV dan siapkah kita menghadapi implikasi-implikasi tertentu akibat tak ada TV.

Soalnya, tutur Lisa, untuk anak-anak yang lebih besar, TV boleh jadi merupakan salah satu kebutuhan sosialisasinya. "Ingat, anak adalah mahluk sosial." Malah sejak usia setahun pun ia sebenarnya sudah mulai bersosialisasi, hanya masih dalam lingkungan sangat terbatas dan akan meluas seiring pertambahan usianya. Hingga lepas usia batita, aktivitas ini semakin gencar dilakukan. Bahkan, ia belajar banyak dari teman-temannya atau membentuk peer group. Nah, dengan sesama teman inilah, ia biasanya asyik ngobrol. Apa lagi yang dibicarakan kalau bukan tentang TV? Terutama tokoh-tokoh tertentu dalam serial yang memegang rating tinggi alias jadi buah bibir.

Jadi, bisa dibayangkan kalau ia tak pernah nonton TV. Ia tak tahu siapa Ben Tennyson, misalnya, atau tak tahu kecerdikan Upin dan Ipin. Tentu ia akan dibilang norak atau ketinggalan jaman oleh teman-temannya. Padahal buat anak, dikata-katai seperti itu akan sangat memukul harga dirinya. "Sama halnya bila kita tak mengikuti tren mode. Menyakitkan sekali bukan kalau penampilan kita dibilang norak? Sementara dalam diri tiap orang ada kecenderungan untuk selalu ikut apa yang dipakai orang lain."

Implikasi lain yang harus juga diperhitungkan, kenyataan bahwa TV ada di mana-mana, dari rumah-rumah gubuk di bantaran kali atau pinggir rel kereta api sampai rumah-rumah mewah. Nah, apakah kita siap dianggap "aneh" oleh orang-orang sekitar? Hal ini bukan tak berdampak pada si kecil, lho. "Ia akan tumbuh menjadi anak yang merasa berbeda dengan anak lain hingga merasa aneh sendiri." Jadi, saran Lisa, tak perlulah kita bersikap berlebihan seperti itu.

Nonton di rumah tetangga
Memang, ujar Lisa paham, orang tua bermaksud baik, yakni agar anak tak terkena "polusi" berupa adegan kekerasan dan sebagainya. Sayangnya, maksud baik itu malah membuat anak jadi korban. "Ia merasa terasing di tengah keramaian dan keceriaan dunia anak-anak. Kasihan, kan?"

Lagi pula, stimulus buruk tidak hanya bersumber dari TV semata. Yang tak kalah penting, apakah orang tua nantinya betul-betul bisa menjalankan fungsi controlling terhadap peraturan yang agak di luar kebiasaan ini. "Nah, siapkah orang tua terus-menerus memantau dan intensif mendampingi anak? Kalau fungsi kontrol bisa berjalan, sih, enggak apa-apa karena tak akan menimbulkan masalah baru. Tapi, bagaimana bila anak ternyata malah mencuri-curi nonton di rumah tetangga? Inilah yang harus diantisipasi orang tua jauh-jauh hari."

Soalnya, kalau anak menumpang nonton, ia justru jadi tak teramati; berapa lama ia menonton, tayangan apa saja yang ditontonnya, dan bagaimana kemungkinan ia mencerna tontonan tadi bila tak ada bimbingan dari orang tuanya. Malah lebih fatal, kan, akibatnya?

Lisa minta orang tua introspeksi diri bila anak sampai mencuri-curi nonton di rumah tetangga; apakah dirinya tak termasuk orang tua yang otoriter? Soalnya, bila keputusan menghapus budaya nonton TV dalam keluarga mutlak ada di tangan orang tua, tanpa kompromi, apalagi mempertimbangkan pendapat dan kebutuhan anak, boleh jadi orang tua tergolong tipe yang memaksakan kehendak. "Orang tua model begini biasanya punya kecenderungan strong controlling alias kelewat ingin mengatur orang lain, termasuk anaknya."

Sementara reaksi anak bisa bermacam-macam. Ada yang diam dan menerima begitu saja semua bentuk pelarangan orang tuanya, meski ia sebetulnya amat tertekan. "Namun ada pula yang memberontak begitu merasa kebutuhan dan keberadaannya terabaikan, lebih-lebih bila ia bukan termasuk orang yang suka diatur-atur." Nah, mencuri-curi nonton di rumah tetangga merupakan salah satu bentuk pemberontakannya.

Jangan lupa, anak yang sudah jenuh dilarang ini-itu tanpa penjelasan, biasanya akan semakin besar kadar kepuasannya bila ia melakukan apa yang justru dilarang orang tuanya. Dorongan bereksplorasi dibarengi kondisi merana yang semakin lama membuat anak semakin merasa terkungkung dan terbatas inilah yang akhirnya mencuat dalam bentuk pemberontakan tadi.

Apapun alasan di balik keputusan Anda, ingatlah, seiring berjalannya waktu, si kecil akan berkembang menjadi individu mandiri yang harus mampu berfungsi sebagai filtering; menyaring mana yang baik dan buruk, mana yang boleh dan tidak. Nah, fungsi filtering inilah yang justru harus dihidupkan atau ditumbuhkan sejak kecil. Usia balita merupakan kesempatan emas untuk menanamkan sikap dan nilai-nilai moral pada anak. Jadi, mengapa tak kita manfaatkan?

(Tabloid Nakita/Julie)




Editor: Dini     Font: A A A Rate   --> Loading...   Kirim Komentar Anda #comment_list div.pd_5 { padding:5px 0; } Loading data..   Kirim Komentar Anda Silakan login untuk kirim komentar Anda. Komentar Kirim Batal Redaksi menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan. Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Redaksi berhak untuk tidak menampilkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. -->-->--> -->-->

About Kompas.com | Advertise With Us | Info iklan | Privacy policy | Terms of use | Karir | Contact Us© 2008 - 2011

0 comments: